Pancasila dalam Segenggam Beras

Mengisi beras perelek ke dalam bambu.

*Tulisan ini rilis di Pikiran Rakyat pada Agustus 2017.

SEPERTI hari-hari biasanya, Nurlaela (44) menggeluti kegiatan sebagai ibu rumah tangga, Rabu sore, 9 Agustus 2017. Mulai dari membereskan rumah, mengasuh buah hati, sampai menyapu serambi. Namun ada satu tugas tambahan yang rutin pula dia lakukan sekira satu tahun belakangan; menyisihkan beras pérélék.

Di kediamannya, Kampung Cikuda, Desa Karyamekar, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta, sebilah bambu sepanjang 25 sentimeter tergantung di dinding luar rumah. Bagian atas bambu itu dipotong sehingga menjadi wadah serupa tabung. Benda inilah yang disebut pérélék

Tak cuma di kediamannya, benda yang sama juga dijumpai di setiap rumah di RT tempat Nurlaela tinggal. Agar terlihat seragam, semua pérélék di RT tersebut diwarnai sama, putih-hitam.

Nurlaela harus mengisi beras pérélék saban hari. Seringnya pada sore hari. Beras pérélék lantas diambil malam harinya oleh warga yang kebagian jadwal ronda. Sambil berpatroli, sambil mengambil beras donasi.

Beras pérélék yang didonasikan Nurlaela memang cuma beberapa sendok. Jika dikonversikan, tak lebih dari segenggaman tangan. Itu karena kapasitas bambu yang memang sangat kecil. Tapi jangan lupa, yang mendonasikan beras pérélék bukan cuma dia. Ini gerakan massal. Di RT-nya saja, sudah tentu ratusan rumah melakukan hal serupa. Jangan lupa juga, ini gerakan berkesinambungan, dilakukan saban hari tanpa jeda.

“Beras pérélék ini kan dikumpulkan untuk kepentingan lingkungan kita juga. Setahu saya, digunakan untuk tiga hal. Mulai dari menyantuni orang yang membutuhkan, sumbangan warga yang sakit, dan sumbangan untuk yang meninggal,” kata ibu empat anak ini.

Dalam rentang waktu tertentu, Ketua RT sebagai koordinator akan membagikan laporan pertanggungjawaban dari beras yang dikumpulkan. Sederhana, hanya lewat selembar kertas kecil yang digandakan. Kertas-kertas itu dibagikan oleh petugas ronda dengan cara memasukannya ke bambu pérélék setiap rumah. Dengan demikian, warga bisa mendapati kertas pertanggungjawaban tersebut saat hendak mengisi pérélék pada siang harinya. Sangat konvensional dan sederhana, namun jelas efektivitasnya.

“Di laporan itu, ditulis jumlah beras yang dikumpulkan sudah berapa liter, kalau diuangkan nilainya berapa rupiah, digunakan berapa kali menyantuni, sampai saldo terkini,” kata Nurlaela.

Dari tiap rumah di Purwakarta, genggam demi genggam beras terkumpul di tingkat RT, lantas dikalkulasi di level RW, semakin menumpuk jumlahnya di ranah desa, terus begitu sampai level kecamatan dan kabupaten. Uniknya, laporan pertanggungjawaban di tiap levelnya, bisa diakses pula secara terbuka dan canggih. Tepatnya melalui laman e-pérélék. Data yang disajikan up to date.

Melalui beras pérélék, Kabupaten Purwakarta menargetkan, warga yang membutuhkan bantuan tidak lagi diberi beras dari program rastra. Beras untuk mereka harus tercukupi dari gerakan ini. Selain agar kualitas beras terjamin, kebersamaan warga juga terjaga.

“Konsepnya kan subsidi silang antara warga yang mampu dengan warga yang kurang mampu, lewat beras,” kata Dedi Mulyadi, bupati Purwakarta.

Pérélék, Warisan Budaya Sunda

Bukan murni gagasan dari warga Purwakarta, bukan pula baru ada sekarang-sekarang. Pengumpulan donasi berbentuk beras pérélék, sebenarnya merupakan konsep yang diwariskan kakek-buyut masyarakat Sunda. 

Harry Hikmat dalam bukunya, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, menyebut bahwa kegiatan pengumpulan beras pérélék sudah sejak lama menjadi ciri khas masyarakat tatar Pasundan.

“Berdasarkan adat-istiadat yang ada di masyarakat, ada satu kegiatan masyarakat yang dikenal sejak 1940-an yang merupakan wujud nyata dari kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatan masyarakat tersebut dikenal dengan istilah béas pérélék (mengumpulkan beras sekitar satu sendok atau canting) setiap bulan yang dikumpulkan di lumbung desa,” tulis pria yang kini menjabat Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial di Kementerian Sosial Republik Indonesia. 

Selanjutnya, Harry Hikmat juga menulis bahwa beras pérélék umumnya memiliki beberapa kegunaan. Salah satu yang paling kentara adalah sebagai sistem ketahanan pangan warga Sunda terhadap musim paceklik. Selain itu, juga untuk menolong fakir miskin di daerah tersebut, serta mengatasi bencana kelaparan yang mungkin muncul sewaktu-waktu.

Sunda dan Pancasila

Kabupaten Purwakarta menjadikan beras pérélék sebagai simbol kebersamaan warganya, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang jadi dasar negara. Namun ternyata tak cuma beras pérélék, banyak warisan kebudayaan Sunda yang juga sejalan dengan Pancasila. 

Dosen sekaligus peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Pajajaran, Elis Suryani NS memaparkan hal ini. Budayawan kelahiran Tasikmalaya tersebut mengungkapkan, Pancasila bahkan sejalan dengan pesan-pesan yang tertulis dalam berbagai naskah Sunda kuno. Mulai dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, sampai Sanghyang Raga Dewata.

“Kandungan Pancasila berisi kearifan lokal berupa ide, pikiran, landasan, filsafat yang digali dari berbagai perspektif ilmu, termasuk di dalamnya sudut pandang budaya,” tulis Elis Suryani dalam artikel berjudul ‘Pancasila dalam Naskah Sunda Buhun’ yang diterbitkan Pikiran Rakyat 27 Juni 2015.

Karena salah satu unsur pembentuknya adalah kebudayaan itulah, menurut Elis, Pancasila bisa bertahan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang memang kehidupannya kental dengan budaya.

Pada akhirnya, berbudaya memang menjadi salah satu cara efektif untuk mahir bernegara. Dalam hal ini, warga Purwakarta tengah gencar melakukannya. Mencoba mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial untuk semua warganya. Hanya dengan segenggam beras, mereka ber-Pancasila.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *