Puing Penyemat ‘Hallo Bandoeng’ (Radio Malabar I)

Bangunan Radio Malabar pada tahun 1930-an. (Koleksi Tropen Museum)

*Tulisan ini terbit di Koran Sindo edisi Januari 2015.

“HALO, Bandung,” ucap seorang nenek renta menghadap mikrofon, di satu sudut kantor telegraf di Belanda akhir dekade 1920-an. Ia berharap bisa berbicara dengan sang anak, meski harus menabung sekian lama untuk membayar biayanya.

“Ya Ibu, saya disini,” jawaban yang ia nanti akhirnya muncul. Perbincangan yang sangat berharga itu dimulai. Rasa rindu serta kasih sayang ibu dan anak tumpah dalam obrolan telepon yang tak lebih dari hitungan menit saja. “Saya baru bisa pulang ke Belanda empat tahun lagi, akan ku bawa serta anakku yang masih kecil ini,” ucap sang anak disusul teriakan salam ‘tabe’ dari seorang bocah.

Nenek tua semakin gemetar. Belum habis kekagumannya bisa mendengar suara sang anak secara langsung, kini telingannya pun mampu menangkap teriakan cucu kecilnya, yang bahkan belum pernah ia lihat. Di tengah kebahagiaan itu, nenek tua terkulai lemas, tak kuat lagi dengan penyakit yang dideritanya. Ia meninggal tanpa diketahui lawan bicara. Padahal cucunya terus saja berteriak ‘tabe’, salam khas bagi orang-orang Belanda.

Itulah gambaran lirik ‘Hallo Bandoeng’ milik Willy Derby di tahun 1929. Lagu yang terinspirasi dari sambungan telepon antara Stasiun Radio Malabar di Pegunungan Puntang, Bandung, dengan Stasiun Radio Kootwijk di Belanda. Dua stasiun radio itu menjadi yang pertama menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda dengan telekomunikasi tanpa kabel.

Praktis, pada masanya Stasiun Radio Malabar menjadi primadona bagi orang-orang Belanda di Tanah Air yang ingin menjalin komunikasi dengan keluarganya. Sejak itu pula, ungkapan ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang merupakan tanda panggil (call sign) Radio Malabar, menjadi populer.

Selain lagu ‘Hallo Bandoeng’ ciptaan Willy Derby, ada pula buku berjudul ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ yang terbit pada 1928. Di sampul buku berbahasa Belanda itu tertulis ‘Kenangan Percakapan Telepon Radio Pertama Antara Belanda dan Hindia Belanda’.

Karya-karya tersebut membuat ungkapan ‘Hallo Bandoeng’ semakin membumi, baik di Bandung, Hindia Belanda, juga jauh di Belanda sana. Bahkan pada tahun 1979, lagu ‘Hallo Bandoeng’ milik Willy Derby diaransmen ulang dan dinyanyikan kembali oleh Wieteke van Dort, artis terkenal Belanda yang lahir dan sempat menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Popularitas tanda panggil ‘Hallo Bandoeng’ seakan menjadi bukti besarnya manfaat Stasiun Radio Malabar bagi kehidupan warga di dua negara, Indonesia dan Belanda.

Stasiun Radio Malabar sendiri mulai dibangun 1917 dibawah kendali insinyur kelahiran Belanda, Cornelius Johannes de Groot. Pegunungan Puntang dipilih sebagai lokasi karena bentuk lereng dan ketinggian yang ideal. selain itu, posisi lereng gunung juga menghadap langsung ke negeri Belanda. Instalasi Stasiun Radio Malabar kemudian diresmikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Peresmian ditandai dengan dikirimnya telegraf radio ke negeri kincir angin.

Stasiun Radio Malabar terus berkembang. Bermula dari telegraf radio, stasiun ini berhasil menjalin hubungan telepon radio pertama Hindia Belanda dengan Belanda di tahun 1925. Sedangkan pembukaan Stasiun Radio Malabar untuk hubungan telepon bagi masyarakat umum baru dilakukan 1929. Macam Wartel di masa sekarang.

“Stasiun Radio Malabar merupakan stasiun pemancar yang paling besar di dunia saat itu, dan sering dikatakan sebagai World Most Powerful Arc Transmitter,” tulis Ummy Latifah dan Achmad Sugiarto di buku Hallo Bandoeng Hier Den Haag, versi e-book terbitan 2014.

Dalam buku yang mengupas kehebatan teknologi Stasiun Radio Malabar ini, Ummy dan Sugiarto juga merinci betapa besarnya pemancar yang dibangun. Kawat antena Stasiun Radio Malabar terbentang sepanjang empat kilometer, dengan tinggi bervariasi 250-750 meter. Kawat-kawat antena itu terbentang dari lereng Gunung Puntang ke lereng Gunung Halimun, dan dari Gunung Haruman ke Gunung Malabar.

“Ini merupakan proyek besar bagi pemerintahan Hindia Belanda, sekaligus antena tertinggi di dunia saat itu,” tulis keduanya.

Namun, perjalanan sejarah membuat Stasiun Radio Malabar harus dihancurkan. Tepat di peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946, komplek pemancar nirkabel itu diledakkan oleh para pejuang. Setidaknya, hancur jauh lebih baik ketimbang instalasi penting ini digunakan untuk kepentingan musuh.

Usai luluh-lantak, keberadaan stasiun radio sarat sejarah itu terlupakan, bahkan hilang ditelan semak belukar dan pepohonan. Setelah sekian lama, Stasiun Radio Malabar ditemukan kembali di 1987.

“Di tahun 1987 itu Perhutani dan masyarakat umum membuka dan membersihkan lahan untuk dijadikan bumi perkemahan. Saat itulah ditemukan puing bekas Stasiun Radio Malabar,” ucap Mulyadi, Mandor Wisata Perhutani wilayah Gunung Puntang.

Puing kolam dan sisa bangunan Radio Malabar. Foto diambil akhir tahun 2014.

Meski dalam kondisi tinggal puing, jejak bangunannya masih cukup lengkap; mulai dari bangunan utama stasiun radio, kolam air, komplek rumah pegawai, hingga bekas lapangan tenis. Menurut Mulyadi, terdapat sekitar sepuluh puing rumah yang dulunya ditempati para pimpinan pembangunan Stasiun Radio Malabar.

“Jadi rumah-rumah itu untuk para insinyur yang membantu De Groot membangun stasiun radio ini. Kalau pekerja biasa, tinggalnya di bedeng-bedeng kecil yang berjajar. Karena dulunya ini proyek besar, pekerjanya mencapai tiga ratus orang. Ada bagian panjat-memanjat, tukang listrik, tukang bengkel, tukang tebang, macam-macam. Dan bukan hanya orang Bandung, tapi berasal dari seluruh Indonesia,” kata Mulyadi.

Setelah dibuka sebagai komplek wisata dan bumi perkemahan, kawasan Gunung Puntang memang ramai didatangi pengunjung. Namun, rata-rata dari mereka hanya berkemah. Jarang sekali yang menyadari bahwa puing di sekitar tenda mereka adalah saksi sambungan telepon pertama Indonesia dan Belanda, sekaligus bidan dari lahirnya ungkapan ‘Hallo Bandoeng’.

Bahkan ketimbang bangunan utama, masyarakat lebih akrab dengan kolam air di depan puing Stasiun Radio Malabar. Kolam itu terkenal dengan nama Kolam Cinta.

“Hanya karena bentuk kolamnya mirip bentuk hati. Padahal itu bentuk daun talas. Dan ujung dari bentuk daun talasnya itu adalah penunjuk yang tepat mengarah ke negeri Belanda,” pungkas Mulyadi.
Nasib lebih beruntung dialami ‘pasangan’ dari Stasiun Radio Malabar, yaitu Stasiun Radio Kootwijk. Hingga kini bangunannya masih berdiri tegak di Belanda. Bangunan Radio Kootwijk itu seakan menceritakan, bahwa pernah ada romantisme kerinduan antara Belanda dan Hindia Belanda.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *