
*Tulisan ini rilis di Pikiran Rakyat pada September 2017.
ADANG (63) hampir mengubur angan-angan lamanya menjadi petani pepaya. Padahal belum genap empat bulan dia memulai. Lahan yang tandus, nyaris membuat 200-an bibit pepaya yang dia tanam layu sebelum berkembang.
Agustus 2017 memang menjadi masa-masa sulit bagi Adang. Padahal kawasan Banjaran, Kabupaten Bandung yang merupakan kaki Gunung Puntang, biasanya subur.
Kemarau panjang jelas mengancam pertumbuhan bibit. Saat kekeringan, pohon pepaya muda akan berguguran daunnya, juga bunga-bunganya. Jika itu dibiarkan, maka kematianlah ending-nya.
Terpaksa, saban hari, di kisaran Agustus sampai September 2017, saat cuaca Bandung Raya tengah kering-keringnya, Adang mesti mengangkut air untuk menyiram tanaman. Air berasal dari sumur di rumahnya yang berjarak 100 meter dari kebun. Beruntung, sumur itu masih mengeluarkan air karena memang dibuat sangat dalam, lebih 10 meter.
Setiap pohon pepaya muda yang baru berusia sekitar 2-4 bulan, rata-rata butuh siraman 1 liter air. Praktis, setiap hari selama dua bulan terakhir musim kemarau itu, dia harus memikul 200-an liter air untuk menyirami kebun.
Aktivitas melelahkan tersebut baru berakhir di pertengahan Oktober. Intensitas hujan, sedikit demi sedikit meningkat. Kebun Adang tak tandus lagi.
“Sekarang mah sudah hijau, sudah tenang. Tak perlu menyirami lagi,” kata dia kepada Pikiran Rakyat, Minggu, 5 November 2017.
Kini, dia tinggal menunggu pohon pepaya menembus usia satu tahun untuk bisa menjalani panen pertama. Di masa panen, kata Adang, pemetikan buah pepaya bisa dilakukan setiap dua pekan. Pasalnya, dalam kurun waktu tersebut, satu buah pepaya di setiap pohon akan matang. Artinya, setiap dua pekan, dia bisa mendapatkan 200-an buah pepaya.
“Diperkirakan, panen juga akan dilakukan pada musim kemarau tahun depan. Tapi karena nanti mah pohonnya sudah besar, jadi tidak akan terganggu kekeringan. Semakin besar pohon pepaya, semakin tahan terhadap kemarau. Kalau kemarin-kemarin memang khawatir karena pohon pepayanya masih kecil-kecil,” kata dia.
Adang masih terbilang beruntung. Meski kebun barunya sempat terancam, namun kekeringan tak sampai mengusik hajat hidupnya sehari-hari. Di kawasan selatan Bandung, sumur-sumur masih bisa diandalkan. Kebutuhan air untuk rumah tangga, tak kelewat terganggu. Kondisi tersebut berbeda dengan warga di kawasan Kota Bandung.
Muhammad Taufik (29), warga Jalan Moh Toha, Kota Bandung, sehari-hari mengandalkan air PDAM untuk kebutuhan mandi, cuci, dan lainnya. Namun seiring lamanya kemarau, pasokan air berkurang. Beberapa kali ‘kiriman’ air tak sampai ke rumahnya. Jika sudah demikian, sumur tetangga menjadi tumpuan harapan. Sumur itu pun, debet airnya dirasakan kian terbatas. Maka menghemat pemakaian air menjadi solusi terakhir. Kondisi ini berlangsung di kisaran Agustus-September 2017.
“Selama musim kemarau, air ledeng juga agak susah,” ujar dia. Menginjak dimulainya musim hujan pada Oktober 2017, kiriman air dari PDAM kembali normal. Kembali mengucur deras.
Sebuah Ironi
Adalah ironi sebenarnya jika wilayah Bandung Raya mengalami kekeringan. Itu karena sejatinya, wilayah ini dipenuhi dengan sumber air. Orang awam pun bisa mengetahui hal tersebut hanya dengan mengartikan nama-nama wilayah di kawasan Bandung Raya. Sebut saja Sekeloa, Sekelimus, Sekebirus, Sekejati, atau Sekesalam. Kata “seke” merupakan bahasa Sunda yang berarti mata air.
Selain nama-nama daerah yang mengandung kata “seke”, lebih berjibun lagi nama daerah yang diawali “ci”, kependekan dari “cai” yang berarti air.
Selain dalam hal penamaan kawasan, secara kasat mata pun, sangat mudah untuk melihat sekawanan sungai ramai-ramai melintasi kawasan Bandung Raya, yang mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di kawasan Kota Bandung saja, berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum setempat, terdapat 47 sungai yang membelah kawasan ini. Mulai dari yang lebarnya cuma 2 meter, sampai puluhan meter. Namun, rata-rata sungai itu dalam kondisi sakit. Airnya cuma numpang lewat dan nyaris tak berguna apa-apa bagi warga.
Nama yang Tinggal Kenangan
Kekhawatiran munculnya kekeringan parah di kawasan Bandung pada masa mendatang, sebenarnya sudah banyak diungkapkan kalangan ahli. Tak terkecuali pakar-pakar yang meneliti kawasan Cekungan Bandung. Titi Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung sekaligus anggota Masyarakat Geografi Indonesia adalah salah satunya.
Menurutnya, kekeringan yang melanda kawasan Cekungan Bandung, terutama di masa kemarau, tak lepas dari sumber-sumber air yang kini berstatus mengkhawatirkan. Lebih dari sekadar menurun kualitasnya, keberadaannya bahkan banyak yang hilang.
Mata air di kawasan Bandung Raya, sebut Titi Bachtiar, kini tak lebih dari jejak yang terabadikan dalam toponimi. Termasuk Sekeloa, Sekelimus, juga Sekebirus. Begitu pula dengan sungai-sungai yang mestinya menjadi tumpuan harapan saat hujan tak kunjung datang. Citarum saja yang menjadi urat nadi sepanjang 300 kilometer di Jawa Barat, kini sudah tak bisa diharapkan. Padahal dari Citarum dan anak-anak sungainya itulah mata rantai kehidupan warga Tatar Pasundan banyak dimulai.
Menurutnya, ada tiga masalah inti yang menyebabkan kekeringan terjadi di Cekungan Bandung, dan bisa kian parah di masa mendatang. Pertama, penyedotan air tanah yang tak sebanding dengan pengisian ulang air tanah secara alami. Itu terjadi karena lingkungan di seputaran Cekungan Bandung sudah hancur. Kedua, tercemar beratnya sungai-sungai oleh limbah industri. Ketiga, pencemaran sungai oleh sampah rumah tangga yang dibuang warga ke aliran sungai.
“Air bersih sudah menjadi masalah, dan akan semakin menjadi masalah berat ke depan bagi warga di Cekungan Bandung. Oleh karena itu, diperlukan sebuah langkah nyata, karena permasalahan air yang menjadi kebutuhan utama, maka akan merembet pada persoalan lain yang lebih rumit; sosial-ekonomi, politi,” ungkap Titi Bachtiar dalam artikel “Krisis Air di Cekungan Bandung” yang diterbitkan di pikiran-rakyat.com pada Sabtu, 4 November 2017.
Mulai dari Sekarang
Lantas apa solusi lain dari kondisi ini. Ada dua solusi, ungkap Titi Bachtiar, yang paling mungkin dan relatif paling mudah dibanding jalan keluar yang lain. Pertama, upaya pembersihan sungai. Intinya, bikin sungai-sungai yang melintasi kawasan Bandung Raya sebersih mungkin. Sampai airnya bisa digunakan oleh masyarakat. Sungai bukan hanya media perlintasan air dari hulu menuju hilir. Atau cuma sarana ‘transportasi’ memindahkan sampah dan limbah.
“Bersihkan sungai dari pencemaran. Airnya bisa dijadikan air baku bagi kebutuhan warga,” kata dia kepada Pikiran Rakyat, Minggu, 5 November 2017.
Solusi kedua, pembuatan sumur biopori. Secara teknis, solusi ini lebih mudah lagi dilakukan, bahkan bisa digelar di skala rumahan. Buat sumur biopori sebanyak mungkin. Dengan demikian, makin banyak air yang bisa diserap tanah dan nantinya menjadi cadangan air baku, termasuk saat kemarau.
“Perbanyak sumur resapan, biopori, yang benar-benar dilaksanakan,” tegas Titi Bachtiar mengakhiri perbincangan.***