
*Tulisan ini terbit di Pikiran Rakyat edisi April 2018.
PAGI beranjak siang saat Maman bersantai di pinggir kolam ikan yang dia kelola, di selatan Kota Bandung, tepatnya Jalan Inhofftank di kawasan Tegallega. Pria 61 tahun ini sadar betul, penampungan air di hadapannya bukanlah kolam biasa. Melainkan bukti sejarah peninggalan Belanda.
Kamis, 26 April 2018 siang, sambil bersantai Maman berbagi cerita. Fungsi asli penampungan ini memang bukan kolam budidaya. Maman hanya menanam ikan ke dalamnya setelah berpuluh tahun penampungan dibiarkan tak berguna.
Sejatinya, kolam yang disekat menjadi lima bidang tersebut adalah penampungan limbah rumah tangga. Merupakan bagian dari sebuah kompleks instalasi pengolahan pupuk organik yang dikembangkan awal abad ke-19 oleh pemerintah kolonial. Pabrik mes, demikian warga Jalan Inhofftank menamai instalasi tersebut. Inilah salah satu simpul sejarah industri pupuk di nusantara, yang menggeliat sejak Indonesia belum merdeka.
Di sekeliling kolam bersejarah yang Maman berdayakan, terdapat empat sumur berpenutup besi. Bentuknya menyerupai tangki. Baik kolam maupun tangki, mulanya sama-sama berkedalaman sekitar 11 meter. Namun kian dangkal seiring tak lagi digunakan.
Masih di area yang sama, terdapat bangunan seukuran kamar yang masih kokoh berdiri. Seluas kira-kira 5×5 meter dengan atap menjulang tinggi. Senasib dengan kolam dan tangki, bangunan ini pun tak dipakai lagi. Namun Maman bersaksi, ada area bawah tanah di dalamnya. Berisi alat-alat serupa rangkaian pipa dan mesin yang cara kerjanya tak dia mengerti.
“Dulu di area kolam dan sumur itu juga banyak pipa, tapi sekarang sudah enggak ada,” kata Maman.
Pabrik mes dan Jalan Inhofftank, adalah nama yang tersisa dari cerita lama. Namun jika merunut sejarahnya, pabrik mes hanyalah sebutan tidak resmi dari warga, Jalan Inhofftank yang dilafalkan “inopteng” juga bukan nama sebenar-benarnya. Inhofftank bahkan hanya fenomena salah eja, yang diabadikan dalam papan nama.
Menelaah nama
Catatan tentang keberadaan kawasan ini sebenarnya berserakan dalam surat kabar yang terbit di medio 1930-an, saat Indonesia masih dicengkeram penjajahan. Contohnya, surat kabar De Indische Courant edisi 25 September 1937. Dalam salah satu tulisan di sana, surat kabar tersebut memasang judul kecil “De Imhoff-tank”. Itulah dia nama dan maksud sebenarnya, Imhoff Tank atau tangki Imhoff. Imhoff adalah penggalan nama dari Karl Imhoff, insinyur kelahiran Jerman yang menjadi sosok penemu konsep instalasi Imhoff Tank ini.
Dalam tulisan di koran itu juga dijelaskan bahwa letaknya memang sisi selatan Kota Bandung, di Tegallega. Berfungsi sebagai saluran pembuangan limbah rumah tangga di kawasan Bandung Raya. Di instalasi Imhoff Tank, limbah rumah tangga diolah menjadi produk-produk berguna. Utamanya pupuk organik dan gas metana.
Pada terbitan De Indische Courant edisi lainnya, termasuk tulisan-tulisan di surat kabar lain di masa yang sama, disebutkan pula bahwa instalasi ini mendapat dukungan penuh dari rezim pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan mendapatkan gelontoran dana untuk penelitian dan pengembangan teknologinya.
Penjelasan yang lebih rangkum terkait kawasan ini dipaparkan jurnalis senior, Her Suganda, meski dia pun turut menyebut Inhof untuk Karl Imhoff dan instalasi Imhoff Tank. “Penduduk menamakan tempat itu ‘pabrik mes’. Maksudnya tentu saja mest dari Bahasa Belanda yang artinya pupuk,” tulis Her Suganda dalam buku Jendela Bandung: Perjalanan Bersama Kompas.
Secara kilas, Her Suganda juga memaparkan teknis kerja instalasi Imhoff Tank. Instalasi ini memiliki beberapa buah tangki yang berbeda fungsi. Ada untuk penampungan, pengendapan, dan pengeringan. Deretan tangki itu dilengkapi dengan laboratorium. Setelah melalui beragam proses di bermacam tangki, pupuk organik pun tercipta.
Meski dengan teknologi masa kolonial, bukan berarti pupuk yang dihasilkan dari instalasi Imhoff Tank bermutu seadanya. Her Suganda menerangkan, sebelum didistribusikan, pupuk menjalani uji kualitas terlebih dahulu. Tuan Imhoff kerap langsung turun tangan untuk mengecek bahkan sampai menciumi bau pupuk tersebut. “Walaupun bekerja di tempat yang kotor, para pegawainya selalu menjaga kebersihan. Mereka bekerja dengan sarung tangan karet,” papar Her Suganda.
Pupuk inilah yang menjadi ramuan penyubur tanah perkebunan di kawasan Lembang, Cisarua, Pangalengan, dan Ciwidey. Artinya, instalasi Imhof Tank juga berperan dalam kemajuan dunia perkebunan di Jawa Barat. Pasalnya, pada masa kolonial, tatar Pasundan memang dikenal sebagai salah satu produsen rempah dan hasil alam untuk banyak negara. Bandung Raya bahkan sempat dijuluki “ibu kota kina” karena produksi tanaman kina yang dipasok ke seantero dunia.
Sayang, kiprah Imhoff Tank sebagai pabrik mes atau pabrik pupuk, berakhir saat Jepang datang. Negara tersebut lebih memilih untuk hanya memproduksi gas metana. Tidak tertarik memasok pupuk untuk kebutuhan para petani Bandung Raya.
Gas metana dari Imhoff Tank digunakan Jepang sebagai bahan bakar kendaraan operasional mereka. Termasuk untuk menjalankan mobil-mobil pengangkut tentara. Sejak itu, produk pupuk dari instalasi Imhoff Tank tinggal cerita. Produksi gas metana pun menyusul sirna setelah Jepang kalah dipengujung Perang Dunia II. Perlahan tapi pasti, instalasi Imhoff Tank tak berfungsi apa-apa.