Bumi Pasundan, dari Jaarbeurs Festival ke Asia Africa Carnival

*Tulisan ini rilis di Pikiran Rakyat edisi Juli 2019.

Di masa kolonial, ribuan buku promosi wisata disebar ke berbagai belahan dunia. Hasilnya, ratusan ribu pelancong berbondong datang ke pameran tahunan Jaarbeurs di Bandung pertengahan 1932.

Di era milenial, puluhan tahun kemudian, giliran akun-akun publik di media sosial yang jadi corong wisata. Menebarkan informasi acara demi acara pada khalayak dunia maya, tak terkecuali di medio 2019 jelang karnaval Asia Afrika.

Sila datang ke Bumi Pasundan. Pesona yang tak pernah bertekuk lutut pada zaman. Bentang alam yang lahir diiringi senyum Pencipta Kehidupan.

Primadona Kolonial

Mari membesuk sejarah terlebih dahulu. Namanya Bandoengsche Jaarbeurs, festival legendaris yang diadakan rutin di Bandung sejak tahun 1920. Digelar setiap Juni-Juli saat sekolah meliburkan siswa-siswanya. Area Gedung Jaarbeurs plus halaman dan lapangan di kawasan Bandastraat, jadi tempat penyelenggaraan. Beberapa arsip surat kabar masa itu juga melisankan acara ini dengan sebutan Jaarbeurs te Bandoeng.

Secara literal, Jaarbeurs berarti pameran dagang tahunan. Namun tak sesederhana demikian, festival ini menjelma jadi agenda wisata untuk beragam kalangan.

Jaarbeurs edisi ke-13 di tahun 1932 agaknya layak jadi gambaran. Sejak awal tahun, panitia sudah melakukan distribusi besar-besaran buku promosi bertebal 30 halaman. Eropa menjadi salah satu pasar incaran. Dengan sampul bergurat hitam-jingga, gambar panorama alam, dan judul berbahasa Belanda “Indie Ligt Voor U Open”. Judul yang menegaskan bahwa “Hindia Belanda sedang membuka diri untuk kunjungan Anda semua”.

Dalam buku promosi ini panitia menggambarkan betapa dikara pemandangan alam Bumi Pasundan. Juga betapa ramai dan mewah Bandoengsche Jaarbeurs 1932 yang akan diselenggarakan.

Sebagaimana biasanya, Bandoengsche Jaarbeurs akan diisi pameran dagang bermacam industri, hiburan beragam kesenian, pawai kendaraan hias, parade bunga, sampai berbagai perlombaan.

Di Bandoengsche Jaarbeurs 1932, pameran antara lain diisi produk industri perkebunan, mesin-mesin produksi, perangkat lalu lintas, sampai penukaran barang bekas. Juga ada pameran hewan peliharaan dari komunitas dokter hewan, demo ketangguhan mobil dengan berjalan tanpa henti dari Surabaya ke Bandung, pertandingan sepak bola yang melibatkan SIDOLIG dan UNI, acara amal, juga undian lotre.

Istimewanya, buku promosi yang disebar itu sudah dilengkapi informasi lengkap perihal transportasi dan akomodasi. Mulai penginapan di Bandung sampai jadwal pelayaran dari Eropa ke Hindia Belanda sepanjang 1932, dengan titik keberangkatan dari Amsterdam, Rotterdam, Genova, Napoli, dan Marseille.

Selain untuk calon pengunjung, buku promosi ini juga ditujukan bagi para pengusaha. Siapa tahu berminat memajang barang dagangan mereka. Terbukti dengan adanya tabel harga lapak pameran disertai formulir pendaftaran. Untuk wilayah Eropa, pengusaha maupun calon pengunjung yang butuh informasi tambahan, bisa menghubungi perwakilan panitia Bandoengsche Jaarbeurs 1932 di bilangan Zwanenlaan 6, Den Haag, Belanda.

Bandoengsche Jaarbeurs 1932 pun bergulir 25 Juni sampai 10 Juli. Sesuai rencana, prosesi pembukaan lengkap dengan gelaran musiknya, disiarkan langsung De Bandoengsche Radio Vereeniging yang gelombangnya bisa menyasar seluruh wilayah Bumi Pasundan.

Celakanya, hari pertama diguyur hujan. Namun di luar dugaan, cuaca tak menyurutkan minat wisatawan untuk memadati pameran. Tercatat ada 17.521‬ pengunjung di hari pertama, terdiri dari 3.253 wisatawan Eropa, 1.759 warga Tionghoa, dan 12.509 wisatawan lokal Hindia Belanda.

Di beberapa hari selanjutnya, jumlah pengunjung terus bertambah. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis De Jonge juga tak mau kalah. Berangkat dari Istana Cipanas, dia membawa serta istri dan kedua anaknya.

Sepanjang masa penyelenggaraan, Bandoengsche Jaarbeurs menghiasi pemberitaan media-media cetak di zaman itu. Mulai dari media yang cuma beredar di Hindia Belanda macam Bataviaasch Nieuwsblad, Soerabaijasch Handelsblad, de Sumatra Post, dan de Indische Courant; sampai koran yang terbit di Eropa macam Het Vaderland.

Saking masyhur, ramai, dan bergengsinya Bandoengsche Jaarbeurs, sampai ada pria yang berani memasang iklan untuk mencari wanita muda nan ceria, guna menemaninya pergi ke festival ini. Iklan tersebut dimuat di surat kabar de Indische Courant edisi 30 juni 1932.

Kemeriahan acara yang menggila, berimbas pada kebutuhan transportasi menuju Kota Bandung yang berlipat ganda. Perusahaan kereta bahkan menyediakan armada tambahan setiap akhir pekan selama Bandoengsche Jaarbeurs 1932 diadakan, terutama untuk melayani wisatawan dari Batavia sebagai titik pelabuhan. Satu rangkaian kereta tambahan bisa mengangkut sampai seribu penumpang.

Setelah rangkaian festival usai pada 10 Juli, koran Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie terbitan 11 Juli 1932 melaporkan bahwa Bandoengsche Jaarbeurs 1932 dikunjungi oleh total 189.692 wisatawan. Jumlah pengunjung sebanyak itu membuahkan pendapatan tiket sebesar 48.754 Gulden. Dan perlu diketahui, edisi 1932 bukanlah gelaran paling padat pengunjung sepanjang sejarah penyelenggaraan Bandoengsche Jaarbeurs. Bandoengsche Jaarbeurs terus digelar sampai 1941 dan terhenti saat Bumi Pasundan berganti tuan dari Belanda pada Jepang.

Asia Africa Carnival

Tepat 87 tahun setelah Bandoengsche Jaarbeurs 1932, yakni Juni 2019, selebaran promosi Asia Africa Carnival bertebaran di dunia maya, baik website maupun sosial media. Asia Africa Carnival adalah hajatan puncak dari Asia Africa Festival, yang digelar untuk mengenang Konferensi Asia Afrika 1955.

Uniknya, yang mengunggah selebaran Asia Africa Carnival bukan melulu panitia penyelenggara. Melainkan juga berbagai pihak yang meng-upload secara sukarela. Mulai dari lembaga-lembaga pemerintah, akun milik hotel dan restoran, para pengisi acara, akun milik menteri pariwisata, sampai akun-akun jurnalisme warga. Ulasan di website wisata macam Wonderful West Java dan Genpi kian menambah semarak promosi Asia Afrika Carnival di ranah digital. Ini lebih menyerupai kampanye massal.

Kampanye massal di dunia maya, dilakukan atas inisiatif masing-masing, tapi berlandaskan pemahaman yang sama: platform publikasi yang paling andal saat ini adalah digital. Mengingat saat akan bervakansi, kaum milenial akan mencari inspirasi wisata lewat gawai dalam genggaman mereka.

Benar saja, di sudut selatan kawasan Bandung Raya, tepatnya di Soreang, Kabupaten Bandung, Eka Putra dengan mudah bisa menemukan selebaran Asia Africa Carnival dari salah satu akun citizen journalism. Dari sana, pria 32 tahun ini langsung merencanakan untuk datang menyaksikan karnaval.

Bagi seorang videografer seperti Eka, Asia Africa Carnival adalah surga visual. Gelaran ini menjanjikan beragam atraksi dan busana yang bisa memanjakan pandangan. “Saya tahu dari media sosial sekitar H-3 acara, langsung saya merencanakan mengambil video,” tutur dia.

Di hari pergelaran, 29 Juni 2019, Eka bersama seorang kawan lantas datang ke Jalan Asia Afrika sekitar pukul 09.00. Sengaja tak terlalu pagi, agar tak terlalu lama menunggu dan tak banyak membuang energi. Benar saja, begitu sampai di posisi yang pas untuk mengambil video, karnaval seketika dimulai.

Tak kurang dari 1.147 penampil yang berasal dari 35 kelompok, silih berganti memijakkan kaki. Satu kelompok ke kelompok lainnya, beriringan menyusuri Jalan Asia Afrika sembari beratraksi, diiringi musik dan ketipak tepuk tangan dari kanan dan kiri. Kelompok-kelompok penampil ini berasal dari beberapa negara sahabat, ditambah kalangan komunitas dan perwakilan berbagai daerah di Indonesia.

“Yang paling membuat saya kagum justru burung garuda raksasa yang dari Tasikmalaya. Itu niat banget bikinnya, bahkan sayapnya bisa bergerak dan burung itu bisa ditumpangi,” Eka berkisah.

Secara keseluruhan, dia mengakui pertunjukan ini mengesankan. Bukan semata pada penampilan dan atraksi yang disuguhkan, melainkan terbayang pula proses panjang yang dibutuhkan.

“Karnaval seperti ini kan melibatkan orang yang sangat banyak dari beragam kelompok berbeda. Keren. Melihat pertunjukan ini, saya justru membayangkan bagaimana proses persiapan mereka. Hanya untuk penampilan yang relatif sebentar dari masing-masing kelompok, dengan rute yang tidak terlalu panjang juga, tapi sudah bisa dibayangkan persiapan mereka itu effort banget, ini yang keren,” kata Eka.

Menurut dia, maka pantas jika para penonton turut bangga dengan para penampil. Terbukti seusai karnaval, para penampil menjadi buruan wisatawan untuk berfoto bersama.

Dalam laporannya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mencatat bahwa Asia Africa Festival total dihadiri 139.750 pengunjung, baik wisatawan lokal maupun asing. Berdasarkan perhitungan, diketahui pula bahwa perputaran uang di gelaran ini mencapai Rp 42,7 miliar. Tiap pengunjung Asia Africa Festival mengeluarkan uang rata-rata Rp 306.224 selama acara.

Asia Africa Festival juga membuat hotel yang terletak di radius 1 kilometer dari Jalan Asia Afrika, mencapai level hunian 100%. Di luar area tersebut, tingkat hunian hotel terdekat juga rata-rata terdongkrak ke angka 80%.

“Saya berharap event ini bisa menguatkan peran Bandung sebagai kota percontohan dunia. Sekaligus berdampak untuk pertumbuhan ekonomi dan pariwisata, sehingga Bandung bisa membantu pencapaian target nasional kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara di 2019,” kata Walikota Bandung, Oded M Danial.

Semarak di dunia maya saat masa promosi, ternyata kian menjadi saat acara dilangsungkan. Ini tak lepas dari para pengunjung yang mengunggah foto dan video ke media sosial mereka. “Kegiatan ini, saat ini menjadi trending topic ketiga di Twitter. Kita patut memberi applause,” tutur Esthy Reko Astuti setengah berteriak di muka panggung. Ia merupakan Staf Ahli Bidang Multikultural Kementerian Pariwisata, yang turut hadir dalam acara.

Esthy juga menegaskan, Asia Africa Festival harus tetap ada. Selain krusial untuk wisata, juga penting untuk tetap mengampanyekan pesan damai pada dunia, khususnya masyarakat Asia dan Afrika.

Jelas, saat menggelar Asia Africa Carnival, pada hakikatnya Bumi Pasundan sedang merawat semangat Dasasila Bandung yang tercetus dalam KAA 1955. Sambil berwisata, sejatinya kita sedang melawan lupa.

Menyasar Milenial

Tahun 2014, dunia pariwisata global dibikin terkesima dengan pergerakan Malaysia. Lewat jargon Malaysia Truly Asia, Negeri Jiran menggelorakan promosi berbasis digital. Malaysia ingin meraup sebanyak mungkin datangnya wisatawan milenial.

Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Andar Danova Goeltom menguraikan kondisi tersebut dalam sebuah artikel berjudul Digitalisasi Pariwisata. Andar memaparkan, promosi digital yang dilakukan Malaysia mengandalkan kombinasi Youtube, web TV, Facebook, Twitter, dan tourism website. Jika dikalkulasikan, sepanjang 2014, video promosi wisata Malaysia di jaringan online total berdurasi 9,4 juta menit.

Promosi pariwisata Malaysia di ranah maya berhasil menyasar 12,5 juta orang di seluruh dunia. Branding Malaysia Truly Asia pun memperlihatkan efek signifikan. Semasa 2014, Malaysia kedatangan 27,4 juta wisatawan mancanegara.

“Setuju atau tidak, mau atau tidak, dunia telah memasuki babak baru industri ke-4. Tsunami kemajuan teknologi tidak bisa dibendung. Lonjakan generasi Y atau millenial generation, dan generasi Z atau post millennial generation, semakin besar jumlah dan pengaruhnya,” terang Andar.

Beruntung, saat Malaysia menggelinjang menyasar digital di 2014, Indonesia tak tinggal diam. Branding Wonderful Indonesia langsung didongkrak habis-habisan.

Menteri Pariwisata Arief Yahya yang saat itu belum lama naik takhta, paham betul kondisi ini. Pengalaman mendongkrak Telkom membuatnya fasih di medan persaingan usaha, termasuk di ranah wisata.

“Sering saya katakan bahwa persaingan zaman sekarang itu bukan yang besar makan yang kecil, tapi yang cepat makan yang lambat. Dalam bisnis, kecepatan ditunjukkan dengan pertumbuhan. Kalau kamu tidak cukup tumbuh, maka kamu akan dimakan oleh orang lain, ini terjadi di pariwisata,” kata Menpar.

Branding habis-habisan, pembenahan pengelolaan, sampai digitalisasi pariwisata berkonsep e-tourism, serentak dilakukan. Hasilnya, grafik pariwisata terus menengadah.

Dimulai dari peringkat branding country Wonderful Indonesia yang tadinya tidak punya peringkat, melompat jauh ke posisi 47. Peringkat itu meninggalkan branding Malaysia Truly Asia di posisi ke-96 dan Amazing Thailand di posisi ke-83.

“Jadi sekarang jangan mengajari lagi kalau promosi harus seperti Malaysia, Malaysia sudah kita kalahkan,” tutur Arief Yahya setengah tertawa.

Menjadi satu keniscayaan, bahwa branding wisata berpengaruh signifikan pada angka kunjungan. Tahun 2017, pertumbuhan jumlah wisatawan di Indonesia mencapai 22%. Di tahun yang sama, Malaysia justru minus 4% dan Thailand hanya tumbuh 8,7%. Begitu pula dengan pertumbuhan rata-rata Asia Tenggara yang hanya 7% dan ranah global yang cuma 6,4%.

“Milenial itu pasti digital,” ujar Menpar mengemukakan kalimat singkat yang mewakili konsepnya dalam dalam mengelola wisata saat ini.

Pariwisata Indonesia menggeliat signifikan. Mengadaptasikan diri dengan kekinian tuntutan zaman. Namun yang perlu diingat: sejak era promosi kertas cetakan hingga link tautan, dari era kolonial hingga masa digital-milenial, Bumi Pasundan tetaplah Bumi Pasundan, yang pesonanya selalu pantas diandalkan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *