
*Tulisan ini terbit di Pikiran Rakyat pada Januari 2017.
SEBAGIAN bobotoh meyakini bahwa Persib Bandung pertama kali diperkuat pemain asing pada 2003. Saat itu, Pangeran Biru menggunakan jasa pelatih plus kuartet pemain asal Polandia. Pada rentang 1970-an sampai 1990-an, susunan pemain Persib memang tampak bersih dari nama-nama beraroma bule. Termasuk saat Persib menikmati masa keemasan pada 1980-an sampai pertengahan dekade 1990. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, dalam perjalanan sejarahnya, jauh sebelum rombongan Polandia datang, ternyata sudah terdapat pemain asing yang mengisi formasi Persib.
Nama Koen Nuis tentu tak terdengar nyunda layaknya Dadang, Adjat, atau Djadjang. Nuis tercatat sebagai penjaga gawang Persib pada 1956. Dia merupakan mantan penjaga gawang klub VUC Den Haag, Belanda. Dalam catatan de Haagse Voetbal Historie, Koen Nuis memperkuat VUC Den Haag setidaknya untuk musim 1952-1953.
VUC sendiri sebenarnya bukan tim tanpa prestasi di kancah sepakbola Negeri Kincir Angin. Pasalnya pada 1943-1944, tim ini berhasil tampil sebagai runner up kompetisi level tertinggi sepakbola Belanda. Di musim yang sama, Ajax Amsterdam dan PSV Eindhoven yang saat itu pun sudah punya nama, justru dibuat mentok di fase wilayah. Namun memasuki dekade 1950-an saat Koen Nuis bergabung, prestasi VUC Den Haag sedang aktiklimaks dan harus turun ke kompetisi kasta kedua. Tim ini bahkan mengalami kesulitan finansial karena makin minimnya penjualan tiket pertandingan.
Koen Nuis lantas hijrah ke Indonesia pada 1955. Bukan untuk mencari klub baru, tapi lebih karena ditugaskan di Bandung sebagai guru olahraga di Christelijk Lyceum (kemudian bernama SMAK Dago). Pasalnya selama di Belanda pun, Nuis sudah berkecimpung di bidang pendidikan olahraga, bahkan menjadi pelatih di sebuah klub atletik di Den Haag. Bertha Brouwer, sprinter legendaris Belanda peraih perak Olimpiade 1952 Helsinki, adalah salah satu anak didik Nuis di klub atletik tersebut.
Ketika aktif di dunia olahraga Kota Bandung itulah, Nuis kembali merasakan ngeri-ngeri sedapnya berakrobat di bawah mistar gawang. Dia bergabung dengan UNI, klub yang berlaga di kompetisi internal Persib.
Hanya butuh beberapa bulan berkiprah di klub anggota, Nuis akhirnya bisa menjalani debut bersama Persib. Pertandingan pertama yang dia jalani adalah saat Persib berhadapan dengan kesebelasan para tentara dalam turnamen segitiga di Stadion Siliwangi, Mei 1956. Selain Koen Nuis, Pangeran Biru juga diperkuat Aang Witarsa, Ade Dana, dan Rukma. Di sinilah kemampuan Nuis makin diakui. Koran de Preangerbode melaporkan bahwa tim lawan sebenarnya banyak melakukan serangan. Namun tinju Nuis yang keras saat menghalau umpan lambung, disertai blok mantap untuk menghentikan tembakan, membuat banyak serangan lawan sia-sia. Persib menang 4-1 dan menjuarai turnamen.
Sementara pertandingan besar yang pernah dilakoni Koen Nuis adalah saat Persib meladeni klub asal Prancis, Stade de Reims di Stadion Siliwangi, Juni 1956. Persib kalah 3-2. Namun kekalahan tipis dalam laga itu merupakan prestasi yang membanggakan. Soalnya, hanya dua pekan sebelum melawan Persib, Stade de Reims baru saja menjalani partai final Piala Champions Eropa 1956. Mereka menjadi runner up karena kalah 4-3 dari Real Madrid.
Usai pertandingan, kapten Stade de Reims, Robert Jonquet dengan terang-terangan mengakui ketangguhan kiper asing Persib. “Kipermu, Nuis itu, sangat, sangat baik. Secara umum, semangat Persib sangat luar biasa,” ucap Jonquet, yang juga memperkuat Timnas Prancis di Piala Dunia 1954 dan 1958.
Selepas pertandingan tersebut, Nuis terus bersama Persib. Setidaknya sampai akhir tahun 1957. Tetapi setelahnya, belum ditemukan lagi sumber yang menyebutkan keikutsertaan Nuis di tim Pangeran Biru. Begitu pula dengan keberadaannya, apakah pulang ke Belanda atau tetap tinggal di Indonesia.
Namun terlepas dari akhir kisah hidupnya yang masih samar, dengan adanya nama Koen Nuis plus kabar ketangguhan dia, setidaknya Sinthaweechai ‘Kosin’ Hathairatanakool punya pesaing sekarang.***