
*Tulisan ini muat di Pikiran Rakyat pada April 2017 saat bertugas beberapa bulan di Pangandaran. Saya turut berkecimpung dalam masa awal perintisan perpustakaan ini. Spirit anak-anak muda Pangandaran sedang tinggi-tingginya saat itu..
SORE sudah bersilih malam, Sabtu 8 April 2017 silam. Enam anak muda masih setia berdiri di pinggir jalanan becek di seberang terminal bus Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Satu-persatu kendaraan yang datang mereka perhatikan. Bus jurusan Bandung-Pangandaran menjadi yang ditunggu-tunggu. Ada tiga kardus buku dititipkan ke awak bus itu. Sumbangan beberapa donatur di Bandung.
“Nah, itu,” beberapa dari mereka berkata serempak ketika yang dinantikan muncul dalam pandangan. Nahas, saat dikeluarkan dari bagasi, kardus-kardusnya kuyup. Terciprat air hujan semasa 7 jam perjalanan rupanya. Mau tak mau buku harus dipilah malam itu juga. Yang basah lekas dijemur keesokan harinya. Beruntung satupun tak ada yang rusak.
Begitulah sebuah perpustakaan swadaya di Kecamatan/Kabupaten Pangandaran terbentuk. Mulai dari donasi warga sekitar, jaringan luar kota, sampai sumbangan kelembagaan. Setakat kini, buku sudah memenuhi dua sisi dinding ruangan. “Jumlahnya sekitar dua ribu buku,” ucap Dila Safira, salah seorang juru tulis perpustakaan. Sementara peminjam tetapnya, kata dia, sudah melampaui angka 130-an warga Pangandaran, hanya dalam kurun empat bulan.
Melibatkan tak kurang dari 40 anak muda sebagai pegiatnya, perpustakaan swadaya ini diberi nama Rumah Plankton. Di sinilah masyarakat Pangandaran bisa mengakses buku-buku bacaan, juga disediakan beragam kegiatan pendidikan.
Kolaborasi Kebahagiaan di Rumah Plankton
Rumah Plankton mulai berkegiatan sejak Desember 2016. Meski demikian, perintisannya sudah dimulai sekira pertengahan tahun lalu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk sekadar gaya-gayaan. Ini adalah gerakan mendobrak keterbatasan. Sebagai kabupaten yang belum sampai lima tahun aci berdiri, pembangunan di Pangandaran belum bisa menyentuh banyak hal, termasuk di bidang pendidikan.
Belum adanya perpustakaan daerah dan toko buku misalkan, membuat distribusi bacaan nonkurikulum masih terhambat ke kabupaten ini. Sama dengan masih minimnya program pendidikan luar sekolah.
Kata plankton mereka ambil dari nama organisme berukuran mikro yang bertebaran di kawasan pantai. Alasannya, plankton menjadi sumber kehidupan penting makhluk laut lainnya. Klop, komunitas di daerah pesisir, mengambil filosofi nama dari biota laut. Tapi itu versi serius.
Bagaimana pun sosok Plankton tak bisa lepas dari hikayat kocak Spongebob, Patrick, dan Tuan Krabs. Kegigihan sang Plankton dalam merebut formula rahasia hamburger krabby patty, meski tak kunjung berhasil, menjadi pelajaran yang diambil dari sosok tersebut. Maka resmilah nama ini dipakai.
Untuk memudahkan langkah, prinsip kolaborasi diterapkan. Itulah sebabnya, para pegiat Rumah Plankton berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari skateboarder, desainer grafis, pemotor, pemain musik, akhwat berkerudung, sampai jebolan pesantren, semua terhimpun dalam gerakan ini.
“Rumah Plankton adalah proyek kolaborasi berorientasi kebahagiaan,” sebut Andi Nurroni, salah satu penggagas Rumah Plankton.
Aktivitas pendidikan
Rumah Plankton menempati salah satu kios di kompleks Pasar Wisata Pangandaran. Sebuah pasar oleh-oleh yang cuma selemparan batu dari Pantai Barat dan Pantai Timur, kawasan wisata andalan kabupaten ini.
Mengukuhkan diri sebagai perpustakaan dan ruang aktivitas pendidikan, membuat Rumah Plankton berbeda dengan kios lainnya. Jadi jangan coba mencari baju bertulisan “I Love Pangandaran”, hiasan kerang, atau selendang pantai bergambar Bob Marley di tempat ini.
Yang terlihat mencolok dari kios 6×12 meter tersebut justru lukisan-lukisan dinding. Cover album Abbey Road milik The Beatles, tulisan grafiti, dan kata-kata bijak dibubuhkan di antara dominasi dinding warna biru muda.
Meski eksentrik, jangan kira karena kios ini dibangun dengan modal besar. Senasib dengan tumpukan buku-bukunya, semua yang ada di sini juga diberoleh dari sumbangan. Kios itu berstatus sumbang-pinjam. Deretan keramik yang jadi lantai adalah pemberian seorang guru. Pasir dan semen perekatnya dibeli dari uang donatur. Rak-rak buku juga dibuat dari kas bekas telur, sumbangan seorang usahawan. Sama halnya dengan sofa, meja, kipas angin, sajadah, sampai ke karpet-karpetnya. Tak terkecuali, juga sumbangan tenaga untuk kegiatan-kegiatan pendidikannya.
Sebagaimana alakadar kecilnya plankton, perkumpulan ini lahir dari ide sederhana pun modal apa adanya. Namun masalah cita-cita, sudah bak program andalan milik kementerian sana: mewujudkan akses pendidikan yang meluas, merata, dan bekeadilan. Satu lagi, menyenangkan.
Berjuang lewat tulisan
Minggu 19 Maret 2017 sore, belasan orang akhirnya berkumpul. Kelas menulis siap digelar menjelang pukul 17.00 WIB.
Kelas menulis digelar sekali setiap pekan. Menjadi salah satu kegiatan pendidikan di Rumah Plankton. Ini pertemuan ke empat. Sebagai penanggungjawab program, dari ceruk ruangan, Nurhasanah (25) membagikan lembaran-lembaran kertas kosong. Kali ini, tugas para peserta adalah mendeskripsikan ruangan tempat mereka berada. Materi tersebut cuma sebagian proses. Pada pekan lainnya, materi yang diberikan tentu berbeda-beda.
Belajar membuat karya tulis menjadi hal penting selain banyak membaca. Jika membaca berguna untuk membuka wawasan, maka menulislah agar eksistensi didapatkan. “Karena lewat tulisan, kita bisa memperkenalkan diri. Sekaligus memperkenalkan daerah asal kita,” kata Nur.
Pentingnya eksistensi daerah, mereka sadari betul. Sebagai daerah baru, Pangandaran jelas-jelas butuh itu. Tujuannya agar disejajarkan dengan daerah lain yang sudah lebih dulu maju. Itu pula sebabnya, para peserta di kelas menulis ini berencana menerbitkan buku. Tak mengapa dirilis secara indie. Isinya kumpulan cerpen karya mereka sendiri. Tema cerpen boleh beragam, tapi latar ceritanya harus Pangandaran.
Cara sederhana
Selain kelas menulis, kegiatan yang diselenggarakan di Rumah Plankton masih banyak macamnya. Namun tetap dalam benang merah aktivitas literer dan pendidikan.
Di kelompok program untuk anak-anak, terdapat kelas mengaji kreatif sebagai kegiatan yang paling sering digelar. Membaca buku iqro jadi menu utama untuk peserta. Di samping itu, ada pula kegiatan menggambar dan mendongeng. Dalam rangka menghargai karya sekecil apa pun, hasil gambar anak-anak dipajang pada salah satu dinding di sayap kiri Rumah Plankton. Menggunakan alat sederhana seperti tali dan penjepit kayu sebagai perangkat pajangnya.
Untuk usia dewasa, terutama siswa SMA dan mahasiswa, proses pendidikan cenderung menyentuh giat kreativitas dan kebahasaan. Selain kelas menulis, ada pula kelas fotografi, kelas bahasa Arab, dan klub bahasa Inggris. Rata-rata digelar sekali dalam sepekan. Dari kelas-kelas ini, kadang muncul pula kegiatan belajar yang bersifat insidental. Dalam belajar bahasa Arab misalkan, kalau pengajarnya datang sambil membawa kitab kuning, mengapa tidak lantas belajar ngalogat seperti santri-santri di pondok pesantren.
Melawan bosan
Sebagai selingan saban bulan, digelar pula program bertajuk Seri Pertemuan Melawan Bosan. Dalam kegiatan ini, para pegiat Rumah Plankton mengundang kawan dari luar kota. Tamu-tamu itu akan berbagi pengalaman tentang bidangnya masing-masing. Bisa dalam hal perfilman, musik, maupun kreativitas. Pertukaran pengetahuan berjalan lewat obrolan santai. Benar-benar kegiatan untuk menghilangkan bosan.
Namun jika sudah kelewat jemu dengan perjalanan program berbulan-bulan, kemping bersama di pantai pada akhir pekan, menjadi pilihan. Karena di Rumah Plankton, semua program pendidikan harus dilakukan dengan menyenangkan.
Setakat kini, para pegiat Rumah Plankton sudah menjadi sepantun mesin penggerak dunia literer dan pendidikan luar sekolah di Pangandaran. Berkontribusi, bukan menanti. Berperan, bukan berpangku tangan.***