Reksa Budaya di Bogor Raya

Tugu Kujang, salah satu simbol budaya Sunda di Bogor Raya.

*(Tulisan ini terbit di Koran Pikiran Rakyat edisi 25 April 2016 dan mendapat award dari Mendikbud, Muhadjir Effendy, berupa Anugerah Karya Jurnalistik Pendidikan dan Kebudayaan 2016. Uang pembinaannya kubelikan CBR biar bisa kebut2an macam geng motor Bandung. Sungguh uang pembinaan yang tepat guna. Tapi sebagai tanda terima kasih pada Kemendikbud, kunamai motornya “Tut Wuri Handayani”, kupanggil “Ntut”)

DI Bogor, kebudayaan hanya dibatasi seruas jalan. Jika berada di Jalan Sholeh Iskandar dan melaju ke arah barat, di sebelah kanan adalah perumahan warga yang sehari-hari menggunakan bahasa Betawi. Sebaliknya, masyarakat yang berdomisili di sebelah kiri pengendara atau sisi selatan jalan ini, menggunakan bahasa Sunda sebagai media berkomunikasi. Tidak ada yang salah, juga tidak pernah ada masalah.

Warga di sana sepakat, perbedaan bahasa merupakan bagian dari konsekuensi peradaban. Namun, mereka juga sepaham, kebudayaan lokal mana pun harus tetap dipertahankan. Jangan sampai bosan, timbul lantas tenggelam.

Damanhuri (26), sehari-hari, tinggal di Kampung Pabuaran, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Tanahsareal, Kota Bogor. Daerah yang berada di sebelah utara Jalan Sholeh Iskandar. Bahasa Betawi sudah dia gunakan sejak lama. Ibarat kata, sejak pertama kali lidah bisa mengeluarkan nada. Bahasa Betawi menjadi bahasa keseharian dalam aktivitasnya, baik di luar rumah maupun saat berkumpul bersama ayah, ibu, dan kakaknya di kediaman.

Bukan tak mengerti bahasa Sunda. Daman, begitu dia biasa disapa, masih bisa menanggapi pertanyaan atau pernyataan yang dilontarkan dengan bahasa khas Jawa Barat tersebut. Namun, dalam melafalkannya, dia mengaku tidak bisa. Tak cuma karena terbatasnya perbendaharaan kata, lebih jauh lagi, dia takut salah bicara.

“Tapi, karena tinggal di Bogor, waktu SD pelajaran muatan lokalnya ya bahasa Sunda. Jadi, memang pernah belajar,” kata pria yang mengaku lajang ini, pertengahan April 2016.

Dari sisi selatan Jalan Sholeh Iskandar, apalagi semakin mengarah ke Cianjur dan Sukabumi, kebudayaan yang ada di tengah masyarakat Bogor Raya relatif makin terasa nyunda. Setidaknya dalam hal bahasa dan intonasi bicara. Bukan sekadar dari pelajaran Mulok di sekolah, Ananda Fitri (16) mengaku, ia lahir, tumbuh, dan dewasa berbalut bahasa Sunda dalam kesehariannya. Setidaknya sampai kini menjadi siswi kelas XI SLTA di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Namun, dia mengakui, pada beberapa kesempatan, termasuk saat berkumpul bersama teman, bahasa Indonesia tak bakulah yang acap digunakan.

“Tapi, Bogor kan dulunya pusat Kerajaan Sunda gitu, jadi tetap harus dipertahankan Sundanya,” tutur dia saat ditemui “PR” di Jalan Lawang Gintung, Kota Bogor, April 2016.

Inilah Jalan Lawang Gintung. Jalan yang sebenarnya tampak sederhana, selumrah ruas jalan-jalan lain di Bogor Raya. Tempat kendaraan-kendaraan berhiliran, mengantar penumpangnya menuju masing-masing tujuan. Namun, sekaligus jalan tempat sebuah kawasan yang disimpulkan oleh sejarawan Edi S Ekadjati (1945-2006), sebagai lokasi kompleks Keraton Kerajaan Sunda di ibu kotanya yang bernama Pakuan.

Mantan ketua Pusat Studi Sunda tersebut menyampaikannya melalui makalah berjudul “Asal Usul, Lokasi, Perkembangan Pakuan Pajajaran” yang diterbitkan dalam buku Seri Sundalana 13: Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran (2015).

Edi menulis, lebih jauh, ibu kota Pakuan Pajajaran itu dapat dilokalisasikan sebagai berikut. Ibu kota tersebut terletak di antara dua sungai yang mengalir sejajar mengimpit di sebelah barat dan timurnya. Kedua sungai tersebut adalah Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Di daerah sepanjang aliran antara dua sungai tersebut, mengalir pula sebuah sungai yang lebih kecil, yaitu Sungai Cipakancilan. Adapun kompleks keratonnya berada di bagian selatan Kota Bogor sekarang, di sekitar Jalan Lawang Gintung.

Dalam makalahnya itu, Edi bahkan mendeskripsikan denah Kota Pakuan. Dia menulis, Kota Pakuan Pajajaran terbagi atas dua bagian, yaitu kota dalam dan kota luar yang batasnya sekitar pertemuan Jalan Batutulis dan Jalan Bondongan sekarang. Kota dalam adalah bagian kota tempat kompleks keraton berada. Kota luar adalah bagian kota sebelah luarnya. Kedua bagian kota itu dibatasi oleh benteng berupa bukit kecil memanjang.

Di buku yang sama, Yoseph Iskandar, dalam makalah berjudul “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, memberi gambaran singkat mengenai bentuk istana raja di Pakuan Pajajaran, seperti yang dilaporkan Tome Pires pada Abad ke-16. “Mengenai istana tempat kediaman raja, terdapat rumah-rumah yang besar dan indah, terbuat dari kayu dan palem. Istana dikelilingi 330 pilar (kayu) sebesar tong anggur yang tingginya mencapai 4 pathom (kira-kira 9 meter) dengan ukiran indah di setiap puncaknya,” kata Yoseph.

Sebagai ibu kota Kerajaan Sunda, jelas Pakuan bukan sebatas tempat berdomisili sekelompok penghuni. Pakuan merupakan kota besar di nusantara, tempat tumbuh kembangnya sebuah peradaban manusia. Kebesaran Kota Pakuan ditegaskan oleh sejarawan Saleh Danasasmita (1933-1986) dalam buku Sajarah Bogor (1983). Sejarawan kelahiran Sumedang ini memaparkan bahwa Pakuan dihuni penduduk yang jumlahnya mendekati 50.000 jiwa. Ia menulis, pada zamannya, Kota Pakuan merupakan kota paling besar kedua di Indonesia setelah Demak dengan 49.197 jiwa. Penduduk Pakuan masih dua kali lipat lebih banyak daripada penduduk Pasai (23.121 jiwa), sebagai kota ketiga terbesar.

Pada masa sekarang, petunjuk bahwa di Bogor Raya pernah berdiri Kerajaan Sunda sebenarnya masih bisa terlihat. Berjalan-jalan di sini bahkan tak ubahnya membaca daftar hadir nama-nama bernilai sejarah. Meski memang harus sambil menggali referensi, tentang arti di balik nama setiap tempat yang dilalui. Selain nama asli suatu daerah, banyak pula nama berimpresi Sunda yang sengaja diberikan sebagai pupur-gincu ornamen perkotaan. Nama-nama itu diberikan untuk menyebut jalan, gedung, atau fasilitas publik lainnya.

Di Kota Bogor, misalkan, nama Pakuan melekat pada Jalan Pakuan, Universitas Pakuan, sampai bus kota dengan label Trans Pakuan. Nama Pajajaran tak kalah dimasyurkan, direkatkan pada seruas jalan dan stadion milik Pemerintah Kota Bogor.

Jalan yang dinamai Pajajaran bahkan merupakan jalan protokol yang membelah bogor dari selatan ke utara. Meniti jalan tersebut, juga akan melewati Tugu Kujang sebagai ikon kebanggaan Kota Bogor yang menjulang sekitar 25 meter. Tugu yang menegaskan bahwa inilah tanah Kerajaan Sunda, dengan kujang sebagai senjata khasnya, pernah berdiri dahulu kala. Tak cuma satu kujang. Ornamen kujang juga berderet di sepanjang Jalan pajajaran, di sekitar tugu yang diresmikan pada Juni 1982 tersebut.

Terus bergerak ke arah Jakarta, memasuki wilayah Cibinong, Kabupaten Bogor, Pajajaran tak lagi dipilih sebagai nama. Ruas jalan tersebut berganti nama menjadi Jalan Raya Bogor. Ornamen kasundaan baru terlihat lagi di Jalan Raya Tegar beriman. Bukan nama jalannya karena “Tegar Beriman” adalah moto juang Kabupaten Bogor yang baru ditetapkan pada 1995. Akronim dari tertib, segar, bersih, indah, mandiri, aman, dan nyaman. Bukan pula Stadion Pakansari yang cuma selemparan batu dari Jalan Tegar Beriman. Nama Pakansari dipilih mengikuti nama kelurahan tempat stadion itu berdiri. Di Jalan Tegar Beriman yang melalui kompleks pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor, berdiri tugu kujang kembar. Namanya Congkrang Kujang Papasan. Didirikan oleh Tirta Kahuripan, badan usaha milik daerah (BUMD) Kabupaten Bogor.

Melestarikan sejarah jelas bukan sekadar memoles jalanan dengan pupur-gincu kebudayaan. Pendirian ornamen dan pemilihan nama diakui ampuh untuk mengabadikan kesan bahwa di sini Kerajaan Sunda pernah berjaya. Melestarikan sejarah, jika hendak menempatkan pemerintah sebagai pemeran utama, hal paling penting yang perlu diperhatikan tentu saja kebijakan budaya.

“Bogor itu unik, ada Sunda, Betawi, Tionghoa, bahkan Arab. Budaya kan selalu berakulturasi dan berkembang, lalu menghasilkan budaya Bogor itu sendiri, itu yang kami dorong. Tapi karena dulunya Bogor juga adalah Pakuan, itu pun jelas harus didorong, apalagi kita punya warisan budaya berupa silat yang hebat. Di tiap kecamatan, ada perguruan silat,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, Rahmat Surjana.

Sama halnya dengan pupur-gincu penamaan dan ornamen kota, mata pelajaran Mulok (muatan lokal) di sekolah, seperti yang pernah dirasakan Daman dan Ananda, diakui tak memadai untuk meregenerasi kecintaan terhadap warisan Kerajaan Sunda. Namun, hal itu setidaknya cukup untuk mengenalkan dan memberi tahu bahwa para siswa itu adalah cucu-cicit dari para pendahulunya, masyarakat Kerajaan Sunda.

“Mulok di Bogor sudah jelas isinya budaya Sunda. Tinggal bersama para pengawas, harus ditekankan dan dimatangkan penerapannya,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Dace Supriadi.

Lepas dari pupur-gincu budaya di jalanan kota, juga boleh jadi tak pernah mengikuti pelajaran Mulok di bangku sekolah, pada kenyataannya masih ada warga Bogor Raya yang setia. Menjaga warisan yang diturunkan oleh karuhun Kerajaan Sunda. Mereka kerap tak disadari keberadaannya, bahkan tak dianggap penting eksistensinya. Namun, mereka tetap berdiri di barisan pertama, menolak pudarnya warisan budaya. Mereka tersebar di semua penjuru Bogor Raya. Meski jumlahnya tak seberapa, merekalah reksa budaya yang sesungguhnya.

BERTAHAN DENGAN “PAMALI”

Suasana Kampung Urug, Kabupaten Bogor.

KETELATENAN Ocid dalam merawat leuit menunjukkan betapa berharga bangunan mungil itu untuk dia dan keluarga. Ayah dua anak ini bahkan sedang serius membersihkan rumput liar di sekitar leuit miliknya saat “PR” beranjang ke sana pertengahan April 2016.

Di Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Bogor, leuit milik Ocid berjajar rapi bersama puluhan bangunan serupa milik warga lain. Beberapa di antaranya lengkap dengan sepasang alat tumbuk berupa lesung dan alu. Itulah leuit yang dalam bahasa Indonesia kaprah disebut lumbung padi.

Berada di antara lumbung-lumbung padi di Kampung Urug, kesan tradisional seketika terasa. Bagaimana tidak, arsitekturnya begitu nyunda. Mulai menilik dari bawah, bangunan mungil ini menggunakan konsep panggung. Lantainya berjarak sekitar satu jengkal dari permukaan tanah. Setiap lumbung rata-rata memiliki luas 2×3 meter dan tinggi total 4 meter. Secara keseluruhan, bahan bangunan yang digunakan berupa kayu dan bilik. Di bagian atas, atap menjulang lancip dengan tirai-tirai daun sebagai penutupnya.

Saking penting bangunan ini untuk warga Kampung Urug, jika kerusakan lumbung tidak bisa lagi diperbaiki, bangunannya akan dirobohkan agar bisa dibangun lumbung baru. Pembangunan dilakukan bersandingan bahu dengan sejumlah tetangga. Lumbung milik Ocid, setakat kini, sudah berusia 12 tahun. Sebelumnya, di lokasi sama, lumbung yang dibangun orangtuanya juga pernah berdiri. Menjadi pelindung butir padi yang akan mereka konsumsi.

Seperti milik warga lain, di lumbung milik Ocid, tersimpan pucuk-pucuk padi hasil jerih payahnya dalam bertani. Sebanya 3.000 pucuk padi bisa disimpan di sana. Jika tanpa dijual, jumlah tersebut diperkirakan cukup untuk menghidupi satu keluarga kecil Kampung Urug selama dua tahun.

Pengisian lumbung dilakukan empunya setiap musim panen, dua kali dalam setahun. Sementara itu, pengambilan padi dilakukan dua kali dalam sepekan. Sekali mengambil, secukupnya untuk tiga-empat hari. Hari pengambilan juga tak sembarangan. Mengambil padi hanya dilakukan pada Minggu dan Kamis. Tidak boleh di luar waktu yang ditentukan. Hari Minggu dan Kamis pun bisa menjadi waktu terlarang. Itu terjadi jika si pemilik lumbung menyimpan padinya pada hari tersebut. Intinya, pengambilan padi juga tidak boleh dilakukan pada hari yang sama dengan hari penyimpanan.

Keharusan menyimpan padi di lumbung, sampai aturan tentang hari pengambilan, lir undang-undang bagi warga Kampung Urug. Mereka menaati kemudian mewariskannya dari generasi ke generasi. Tidak ada yang berani melanggar, apalagi nekat menyimpan hasil tani di dapur rumah sendiri.

“Pamali. Manusia dan padi itu punya tempat sendiri-sendiri. Kita di rumah, ya padi di leuit. Kalau melanggar, pasti kualat walaupun tidak langsung. Biasanya ke kesehatan diri atau orang-orang terdekat,” kata Ocid yang tak tahu persis tahun kapan dia dilahirkan.

Selain kata pamali yang sangat mereka segani, warga Kampung Urug percaya, setiap aturan yang diwariskan, menyimpan pesan kehidupan dari leluhur mereka. Tentang keharusan menyimpan padi di lumbung, misalnya, boleh jadi, sang karuhun hendak mengajarkan anak-cucunya ihwal berhemat. Belajar bersyukur atas seikat padi di dapur yang hanya cukup untuk 3 sampai 4 hari. Padahal, jelas-jelas, lumbung yang cuma selemparan batu dari rumah, bisa menjamin hidup mereka sampai dua tahun ke depan.

“Memang tidak semua rumah punya, tapi tidak masalah karena bisa bersama-sama. Yang penting, padi harus disimpan di leuit, itu sudah aturan di sini,” ucap Titi, seorang ibu yang juga hanya bisa memperkirakan bahwa dia berusia 40 tahun.

Penduduk Kampung Urug juga percaya, aturan adat ditetapkan secara matang berdasarkan pengalaman hidup para pendahulu. Pada kenyataannya, beragam aturan adat perihal padi tersebut terhimpun membentuk sistem ketahanan pangan. Sistem yang menghindarkan kemelaratan bak orang kota akibat fluktuatifnya harga makanan. Sistem karya leluhur yang bisa jadi lebih baik ketimbang skema ketahanan pangan modern. Sistem yang bisa jadi tak disadari karena berbalut kata pamali.

Berjarak 60 kilometer arah barat daya Cibinong, keberadaan kampung ini menjadi sepantun oase di antara padang modernisasi di Bogor Raya. Kampung Urug atau nama tepatnya Kampung Urug Lebak, dihuni oleh tak kurang dari 500 keluarga. Mereka menempati 400-an rumah di perkampungan tersebut.

Sebagai perkampungan yang masih menjaga warisan Kerajaan Sunda, beragam sendi kehidupan di Kampung Urug diatur secara detail oleh adat. Tata cara menyimpan dan mengambil padi hanya secuil dari banyak aturan adat yang mereka miliki. Aturan adat tersebut berlaku pula dalam tata cara bertani, berkebun, beternak, mendirikan bangunan, sampai pergaulan antarpenghuni. Tak ada yang lepas dari aturan turun-temurun buatan nenek dan kakek moyang ini.

Di Kampung Urug, hukum adat diturunkan lintas generasi secara lisan. Oleh karena itu pula, Abah Ukat sang kepala adat Kampung Urug, menyebut, himpunan aturan-aturan tersebut dengan nama Kitab Carek. Carek, dalam bahasa Sunda, berarti ‘ucapan bernada larangan’.

Secara keseluruhan, di Tatar Pasundan, aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda dulu. Bentuknya bahkan sudah tertulis seperti naskah undang-undang pada zaman sekarang. Dalam karya tulisnya yang lain, yakni buku Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran (2005), Edi S Ekadjati mengonfirmasi hal ini. Dia memaparkan jenis-jenis aturan yang dibuat Kerajaan Sunda untuk mengatur kehidupan mereka, termasuk rakyatnya. Sejarawan asal Kuningan itu menulis, Carita Parahyangan dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian mengemukakan bahwa ada tiga macam himpunan peraturan (undang-undang) yang berlaku pada masa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, yaitu Dewasasana, Rajasasana, dan Manusasana.

Dewasasana adalah aturan tentang penyembahan terhadap dewa, berupa himpunan peraturan atau ajaran yang bertalian dengan pemujaan dewa atau zat yang mahatinggi serta penerapannya dalam kehidupan manusia. Rajasasana adalah aturan tentang kehidupan raja, berupa himpunan peraturan yang bertalian dengan hak dan kewajiban raja dalam memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Adapun Manusasana adalah aturan mengenai kehidupan manusia secara umum berupa himpunan ajaran yang bersumber pada ajaran agama dan tradisi leluhur yang menjadi pedoman hidup manusia seluruhnya, baik rakyat biasa maupun para pembesar negara.

Berbicara aturan adat, Abah Ukat tak mau main-main. Menurut dia, ada sejumlah sebab yang membuat pelanggaran ada bisa dianggap lebih berbahaya ketimbang melanggar hukum negara, bahkan hukum agama. Saat melanggar hukum negara, seorang kriminal bisa meminta keringanan hukuman dari pengadilan, bahkan mengemis pengampunan dari pemerintah. Ketika melanggar norma agama, masih ada peluang pengampunan lewat kesucian pintu tobat. Namun sekali melanggar adat, kualat tak perlu menunggu kiamat.

TAKDIR SEBAGAI PENJAGA

Maemunah dan prasasti Batutulis

LALU lintas di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kota Bogor mencapai puncaknya menjelang tengah hari. Jalanan hanya cukup untuk dua lajur kendaraan roda empat. Namun, mobil dan motor rata-rata melaju cepat, seolah sibuk sendiri-sendiri. Papan nama di sebelah kanan jalan tak banyak dilirik. Pagar besi berwarna hijau di depannya, ditambah rimbunan daun pohon, cukup untuk membuat papan itu luput dari perhatian. papan besi putih bertuliskan “Situs Prasasti Batutulis”, situs yang juga menjadi asal penamaan ruas jalan dan kelurahan ini.

“PR” berkesempatan menyambangi lokasi itu akhir Februari 2016 lalu. Dua pemuda setempat -yang menjadi sukarelawan pengatur parkir- menyambut ramah. Sebenarnya, tak ada tempat parkir di sana. Kendaraan pengunjung cuma diposisikan di pinggir jalan. Pantas jika kedua pemuda itu harus bersusah payah mengatur letak kendaraan di antara ramainya lalu lintas.

Tamu lokasi ini tak seramai tempat wisata rekreasi. Namun, ada saja yang mengunjungi. Satu-dua orang pulang, dua-tiga lainnya datang.

Lokasi Prasasti Batutulis berada tepat di pinggir ruas jalan. memasuki gerbangnya yang hanya selebar satu meter, tumpukan batu kali langsung ada di depan mata. Di bagian tengah tumpukan, batu panjang menancap tegak serupa tiang. Kata orang sekitar, ini merupakan tempat mengikat kuda, dulunya. Beberapa tumpukan sejenis ada di sisi lain area situs, di sekeliling bangunan utama yang berukuran sekitar 5×5 meter.

Namun, belum sampai di bangunan utama, seorang ibu berbaju batik sudah beranjak dari tempat duduknya. Ia menyambut tak kalah someah. Sesekali bercanda. Masih segar meski raut usia lanjut tak mampu lagi disembunyikan. Sejurus berlalu, buku tamu dia sodorkan bersama sebuah pena. Ada kolom nama, asal, dan tanda tangan. Itu sudah layaknya prosedur bagi tamu, sekaligus menjadi tugas harian perempuan bernama Maemunah ini. Jika tak ada pengunjung, dia menghabiskan waktu dengan duduk manis di pelataran bangunan utama. Menikmati teduh pohon dan semilir angin yang juga meniup rimbunan bambu kuning di sana. Terus seperti itu kegiatan Maemunah, setidaknya selama 24 tahun terakhir, setiap hari sejak dia berusia 52.

Aktivitas harian Maemunah di area situs dimulai pukul 7.30. Membersihkan halaman, menyapu lantai, sampai mengepel bangunan utama. Bagian dalam bangunan utama -yang menyimpan beberapa batu peninggalan- juga menjadi tanggung jawab Maemunah. Dia baru kembali ke rumahnya, tak jauh dari sana, saat jarum jam menunjukkan waktu pukul 15.00.

Kemesraan Maemunah dengan kompleks situs Batutulis tak begitu saja terjalin, melainkan turun-temurun entah bermula dari generasi mana. Setidaknya, sepengetahuan dia, sang kakek yang bernama Ci’ong pun mengemban tugas serupa. Saat kakeknya meninggal, tugas menjaga kompleks prasasti diwariskan pada generasi selanjutnya.

“Kakek saya juga warisan dari leluhurnya. Setelah Aki Ci’ong, lalu dilanjutkan Uwak Acep. Kemudian ibu saya, Emak Cicih, lalu saya. Awalnya, saya menjawab tidak bisa, tapi ini warisan, mungkin sudah takdir keluarga kami untuk menjaga ini,” kata ibu dari tujuh anak itu.

Selain Prasasti Batutulis, di dalam bangunan utama, terdapat batu-batu peninggalan lainnya. Yakni lingga sebagai simbol kesuburan dan kekuasaan yang menjulang sama tinggi dengan prasasti, batu berisi sepasang tapak kaki, batu berisi satu tapak serupa lutut, dan batu yang dipercaya sebagai tempat bersandar. Semuanya berada di dalam bangunan utama dengan posisi yang masih dipertahankan. Hanya dasarnya yang sudah dilapisi lantai dan karpet merah. Berdiam diri di sana, bagi Maemunah seakan sedang bermesraan dengan sosok idolanya, Prabu Siliwangi.

Prasasti Batutulis diketahui ditulis dengan aksara Jawa Kuna, tetapi menggunakan bahasa Sunda Kuna. Prasasti tersebut berangka tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi. Meski dibuat untuk menegaskan jasa-jasa Prabu Siliwangi, para pakar sejarah meyakini prasasti ini ditulis setelah sang prabu meninggal dunia.

Saleh Danasasmita, dalam Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi (2003) menyebut, bisa dipastikan bahwa saat prasasati dibuat, Sri Baduga telah tiada. Itu karena di dalamnya disebutkan Prabu Ratu Purane. Sementara itu, kata “purane” berarti ‘suwargi atau almarhum’.

Yoseph Iskandar dalam esai berjudul “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna” yang dimuat dalam Seri Sundalana 13: Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran (2015) juga memaparkan, Prasasti Batutulis Bogor dibuat oleh Prabu Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja, untuk mengenang jasa ayahanda suwargi, dalam hal “Pembangunan Kota Bogor” yang waktu itu terkenal dengan sebutan Dayeuh Pakuan.

Peninggalan berupa prasasti dari masa Pakuan tentu bukan cuma Batutulis. Seperti yang diungkapkan Edi S Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran (2005). Dia menyebut, telah ditemukan 24 prasasti yang berasal dari masa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mayoritas ditulis di atas batu, ada pula yang ditulis di media logam. Ada yang masih tersimpan di lokasi penemuan, ada pula yang sudah diangkut ke museum.

Terlepas dari di mana prasasti-prasasti itu diletakkan, banyaknya jumlah prasasti memastikan bahwa selain Maemunah, masih banyak orang lain yang setia menjaga prasasti warisan Kerajaan Sunda dengan komitmen dan rasa cinta yang sama.

Namun, di tengah tingginya kanyaah Maemunah terhadap Prasasti Batutulis, ada satu keinginan dia untuk kompleks bersejarah ini. Hanya satu. Jangan ada yang merusak, itu sudah lebih dari cukup. Maemunah masih ingat betul rasa sakit hati 14 tahun lalu. Saat Menteri Agama era Megawati, Said Agil Husin Al Munawar menggali sebagian area kompleks Prasasti batutulis. Ada harta karun peninggalan Prabu Siliwangi, begitu dalih sang menteri. Harta tak didapat, lubang galian menganga yang tersisa.

“Katanya mau direhab, malah dirusak. Menteri Agama harusnya ngerti, orang pintar kok kaya begitu. Saya mah nyaah, kakek saya juga berpesan jangan rusak tempat ini, itu saja,” ucapan Maemunah meninggi.

Kini, Maemunah sudah memasuki tahun ke-76 dalam hidupnya. Masih bugar, tetapi menyiapkan penerus harus segera dilakukan. Siapa pun sosoknya, yang penting ada kelanjutan generasi. Sang anak, Firman (49) adalah orangnya. Memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga ini, penerus harus sudah siap saat tugas generasi sebelumnya dinyatakan selesai.

PERJANJIAN TAK TERTULIS DENGAN PALU “TEUPA”

Wahyu Affandi Suradinata, pembuat kujang alias guru teupa di Bogor.

DEDE (20), terlihat serius memalu kujang berukuran kecil. Panjangnya cuma 5 sentimeter. Masih jauh dari rampung, tetapi bentuk khasnya sudah terlihat. Kuningan digunakan sebagai bahan kujang mungil tersebut.

Mulanya, pelat kuningan dibubuhi pola. Setelah itu dicetak dengan pemotong khusus lalu dipukul-pukul ringan menggunakan palu. Langkah terakhir dilakukan untuk merapikan bentuk kujang. Nantinya kujang berukuran kecil ini digunakan sebagai gantungan kunci. Ada pula beberapa kujang mungil lain yang sama-sama masih berlangsung pembuatannya, tinggal ditempel jarum agar bisa menjadi bros.

“Kalau kujang sungguhan yang untuk pusaka, itu diteupa, bukan dicetak seperti ini. Bahannya juga besi baja,” ujar Dede saat berbincang dengan “PR”.

Selain Dede, beberapa anak muda yang usianya tak jauh berbeda, juga tampak sibuk di bangunan bernama gosali itu, di dalam area Paneupaan Kujang Pajajaran, Jalan Parungbanteng, Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, pertengahan Maret 2016 lalu. Begitu aktivitas mereka setiap hari di pinggir Sungai Katulampa ini, terutama menjelang siang.

Gosali, dalam bahasa Sunda, berarti bengkel pembuatan perkakas, khususnya senjata. Di sanalah sang guru teupa berjibaku dengan api dan baja panas. Sementara itu, paneupaan berarti kompleks penempaan secara keseluruhan.

Selain gosali tempat Dede dan rekan-rekannya membuat miniatur kujang, ada galeri di Kompleks Paneupaan Kujang Pajajaran tersebut. Gosali dan galeri letaknya berhadap-hadapan, terpisah oleh seruas jalan desa yang lebarnya cuma tiga meter.

Galeri tersebut sebenarnya merupakan ruang tamu dari rumah sang guru teupa. Seluas kira-kira 5×6 meter. Sudut-sudut ruangan dipenuhi etalase berisi deretan kujang beragam jenis. Mulai dari kujang mini yang dibuat Dede di gosali sampai kujang sungguhan berukuran normal. Di sela kujang-kujang yang berderet, sejumlah plakat dan sertifikat penghargaan turut terpampang. Tak ketinggalan, beragam kliping koran yang mencantumkan kisah tentang paneupaan ini, tertera di dinding menggunakan pigura. Meski hampir siang, cuaca di luar masih teduh. Cocok untuk sekadar berbincang dingan dengan sang guru teupa.

Adalah Wahyu Affandi Suradinata (63), perintis sekaligus pemilik Paneupaan Kujang Pajajaran ini. Ia mulai menyukai kujang sekitar tahun 1994, lalu mencoba membuatnya mulai tahun 2000. Setakat kini, penempaan ini menjadi satu-satunya tempat pembuatan kujang yang mampu mempertahankan eksistensinya di Bogor Raya.

Untuk membuat kujang, beragam bahan baku bisa digunakan. Mulai dari besi, baja, kuningan, aluminium, sampai campuran antara besi dan baja. Jika bahan kuningan cukup dipotong berdasarkan pola yang telah dibubuhkan, pembuatan kujang dari bahan logam lainnya lebih rumit. Pembuatan kujang dari besi sebenarnya agak mirip, tetapi harus menggunakan gunting besar bahkan alat las untuk memotongnya seturut pola. Sementara itu, untuk bahan aluminium, sang guru teupa harus membuat cetakan terlebih dahulu, kemudian dicor dengan aluminium panas yang mencair. Proses penempaan yang sesungguhnya dilakukan jika kujang dibuat dari baja. Beruntung, saat ini tersedia banyak baja yang sudah berbentuk lempengan. Tak perlu lagi sang guru teupa memprosesnya sejak awal. Lempengan baja dibakar dan ditempa sampai bentuknya sesuai dengan keinginan. Landean (gagang) dan sarangka kujang dibuat kemudian.

“Bayangkan, zaman kerajaan dulu, tidak ada lempengan baja atau teknik cor seperti sekarang. Jadi, sebenarnya, baik kujang maupun keris, zaman dulu, tidak ada yang rapi. Juga susah untuk membuatnya runcing. Zaman dulu, kalau ingin runcing, senjata itu digosok dengan batu oleh guru teupa sampai berhari-hari,” kata pria yang karib disapa Abah ini.

Ada enam jenis kujang yang dibuat Paneupaan Kujang Pajajaran. Yakni kujang bangkong, kujang badak, kujang naga, kujang jago, kujang ciung, dan kujang kuntul. bentuk-bentuk tersebut diyakini sebagai bentuk kujang aslinya sejak masa Kerajaan Sunda dahulu.

Kujang bangkong merupakan pegangan para guru, kujang badak menjadi senjata kalangan sarawarsa atau prajurit, kujang naga untuk jaro dan kanduru atau para kepercayaan raja, kujang jago untuk balapati atau panglima perang, kujang ciung digunakan para bupati dan wakilnya, sedangkan kujang kuntul menjadi senjata bagi para patih dan mantri. Keyakinan ini pula yang membuat Wahyu enggan berkreasi lebih jauh meski cuma mengubah bentuk gagang kujangnya.

“Saya masih pengang tetekon atau aturan adat, misalkan yen landean kujang wangun ceker kidang, ya sudah bentuknya saya buat seperti itu. Di Bandung, bentuk kujang banyak diulik, termasuk gagangnya yang dibuat berbentuk maung. Tidak apa-apa, berarti ada inovasi, dan itu bagus karena bagian dari seni,” tutur Wahyu.

Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih dari sekadar bilah-bilah senjata. Kujang kerap diartikan sebagai identitas, jati diri, simbol pemersatu, dan banyak lagi filosofi lainnya. Budayawan Sunda Jakob Sumardjo, dalam artikel yang berjudul “Kujang dan Masyarakat Sunda” (Pikiran Rakyat, 26 Februari 2008) mengemukakan hal ini. Dia memaparkan, kujang adalah simbol medium transendensi daya-daya gaib yang diperlukan manusia. Inilah sebabnya proses pembuatannya, dahulu, dilakukan di tempat-tempat khusus, jauh dari kampung. Pelipatan tiga penempaannya juga menunjukkan asasa tripartit. Dulu, orang perlu puasa atau pantang dalam menempa kujang tertentu yang menunjukkan bahwa jenis senjata ini memang bertuah (sakral).

Begitu pun adanya bagi seorang Wahyu, dia menyebut kujang sebagai perlambang sumber kehidupan. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Tempaan-tempaan palu yang dia pukulkan pada lempengan logam adalah bentuk penghormatan pada karuhun. Langkah nyata untuk mempertahankan apa yang pernah dibuat para leluhur.

Keadaan saat ini memang tidak mudah menurut dia. Jangankan orang asing, urang Sunda sendiri banyak yang tidak mengerti arti, makna, filosofi, dan tujuan dibuatnya kujang. Cuma sampai tahu bentuk. Fenomena ini menjadi keprihatinan paling mendalam bagi sang guru teupa. Apalagi, dia menggeluti berbagai bidang kasundaan sejak lama. Terhitung 1977 bahkan sudah menjadi ketua paguron silat.

Kemajuan zaman tak bisa terelakan, juga tak akan mampu dilawan. Namun, menurut dia, kasundaan sebagai jati diri jelas harus dipertahankan.

“Ada sejenis sumpah tak tertulis, sampai mati, saya mau ngagugulung kasundaan. Sampai liang kubur akan berselimut kasundaan. Allah sudah menggariskan demikian,” kata ayah enam anak ini.

Hampir tengah hari, Paneupaan Kujang Pajajaran mulai dihantam terik. Mengiringi laju air Katulampa, benturan palu teupa dengan logam masih bersahutan, entah sampai kapan.

BOGOR RAYA TETAP IBU KOTA

Tugu kujang di wilayah Cibinong

MENILIK sejarahnya sebagai tilas pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, Bogor Raja harus tetap mempertahankan keibukotaannya. Maemunah, Wahyu Affandi, Abah Ukat, ocid, dan Titi hanya segelintir dari puluhan, bahkan ratusan, orang di wilayah ini yang berjuang mempertahankan hal itu. Mempertahankan kasundaan sebagai identitas mereka. Namun, di luar orang-orang tersebut, jelas ada ribuan bahkan jutaan yang membiarkan warisan sosiologis Pakuan Pajajaran sedikit demi sedikit tenggelam. Hilang dari kehidupan karena diterungku zaman.

Fenomena ini disadari betul keberadaannya. Termasuk oleh budayawan Sunda asal Bogor, Eman Sulaeman. Dalam bincang ringan bersama “PR” di kediamannya, Jalan Durian, Kota Bogor, awal April lalu, Eman banyak mengungkapkan kekhawatiran. Secangkir teh hangat di sepertiga pertama malam, menjadi pelengkap pandangan-pandangan Eman tentang kebudayaan.

Dari semua jenis warisan budaya di Bogor Raya, dia menyebut bahasa sebagai salah satu yang paling terancam eksistensinya. Eman bahkan memperhitungkan, jika ketidakpedulian masyarakat Bogor Raya terus berlangsung, bahasa Sunda Bogor akan hilang dalam lima tahun.

Tak begitu mengejutkan sebenarnya mendengar ramalan tersebut. Pasalnya, penggunaan bahasa Sunda di Bogor Raya, terutama perkotaan, memang terus tergerus bahasa lain. Mulai dari bahasa Indonesia, Melayu, Betawi, sampai bahasa yang tidak jelas susur-galurnya.

“Coba perhatikan di angkot-angkot, anak-anak SMP sudah tidak ada yang pakai bahasa Sunda. Bahasa yang mereka pakai sebenarnya tidak jelas, bahasa Indonesia bukan, bahasa Jakarta (Betawi) juga bukan. Yang pakai bahasa Sunda saat ini paling cuma kalangan tua. Coba bagaimana itu?” kata Eman.

Penulis buku Toponimi Bogor ini begitu menyayangkan. Pasalnya, bahasa Sunda Bogor memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa Sunda di wilayah Tatar Pasundan lainnya, semisal wilayah Bandung Raya dan Priangan Timur.

Di belahan Tatar Pasundan lain, terdapat pengastaan bahasa yang begitu bertingkat-tingkat. Untuk menunjukkan aktivitas makan saja, kata yang digunakan beragam jenisnya. Mulai dari dahar, tuang, neda, sampai yang paling kasar seperti nyatu, lelebok, atau lolodok. Menurut Eman, kondisi itu disebabkan wilayah-wilayah tersebut sempat terpengaruh oleh budaya Mataram.

Berbeda dengan daerah-daerah tadi, bahasa Sunda Bogor tidak seperti demikian. Di sini, bahasa yang digunakan sama, baik saat berhadapan dengan orang yang lebih tua maupun kalangan setara dan yang lebih muda. Dahar, ya dahar. Tanpa undak usuk dan tata-titi pengastaan. Raja dan rakyat sama bahasanya. Inilah bahasa orang agraris yang sesungguhnya. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Sunda di Bogor Raya seharusnya lebih mudah dilakukan.

Lepas dari aspek bahasa, banyak hal lain yang terlalu berharga untuk dihilangkan, malah seharusnya bisa dibanggakan. Salah satunya adalah fakta bahwa Kerajaan Sunda merupakan negara yang sangat jaya pada masanya. Eman mencontohkan betapa hormatnya bangsa Portugis pada Kerajaan Sunda pada zaman dulu. Itu karena masyarakat Sunda pada masa tersebut berpikiran maju, terbuka dalam pergaulan, dan ramah pada siapa pun. Tome Pires dari Portugis, selepas kunjungannya ke wilayah Kerajaan Sunda, langsung melapor kepada atasannya perihal perlakuan yang dia peroleh.

Pires mengatakan, dia diterima oleh sekelompok masyarakat yang disebut masyarakat Sunda, yang sangat baik dan ramah terhadap tamu. Pada kenyataannya, selepas kunjungan tersebut, rasa penasaran bangsa Portugis pada Kerajaan Sunda terus berlanjut. Sampai pada abad ke-16, bangsa Portugis dan Kerajaan Sunda akhirnya menjalin kerja sama. Lir hubungan bilateral pada masa sekarang.

Paparan Eman ini juga pernah diungkapkan sastrawan Yoseph Iskandar dalam Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna. Dia mengemukakan sekilas kejayaan Kerajaan Sunda yang juga diambil dari catatan perjalanan Tome Pires dalam kunjungan kenegaraan pada 1513 ke Pakuan Pajajaran. Yoseph menulis, menurut catatan reportase Tome Pires, penduduk ibu kota Pakuan Pajajaran ada 50.000 jiwa. Pelabuhan-pelabuhan penting yang tercatat, Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Kalapa, Karawang, dan Cimanuk. Dengan demikian, Tome Pires menyebut Kerajaan Sunda sebagai Negeri Kesatria dan Pahlawan Laut. Komoditas ekspornya beras, lada, kain tenun, tamarin (asam). Impornya tekstil halus dari Cambay, kuda dari Pariaman 4.000 ekor per tahun. Alat pembayarannya uang emas dan kepeng.

Jika suatu saat kasundaan di tilas ibu kota bernama Pakuan ini benar-benar hilang, pendapat Eman, kesalahan ada pada semua dari kita. Mulai dari orangtua yang tak mengajarkan, sekalipun cuma mewariskan bahasa; pemerintah yang tidak menjaga, meski hanya dengan membangun museum; sampai anak-anak muda yang enggan melanjutkan, walau sekadar dengan menyelipkan Sunda dalam karya-karyanya.

Dulu, sebagai ibu kota kerajaan, jika hancur Pakuan, hancur pula Kerajaan Sunda. Begitu pun saat ini. Jika kasundaan di Bogor Raya rusak, bisa rusak pulalah kasundaan di seluruh Tatar Pasundan.

“Dulu, Pakuan itu ibu kota Kerajaan Sunda, jadi sampai sekarang harus dipertahankan kasundaannya, keibukotaannya,” kata Eman.

Pengukuhan Pakuan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sunda yang sebelumnya ada di Kawali (wilayah Ciamis sekarang), menjadi salah satu peristiwa paling penting yang pernah terjadi di Bogor Raya. Prosesi itu dipercaya terjadi pada 3 Juni 1482. Pada kenyataannya, tanggal itu pula yang diacikan sebagai hari jadi Bogor, baik kota maupun kabupatennya. Ulang tahun bersama, menjaga kasundaannya pun bersama-sama. Semoga.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *